03 Juni 2014

Kisah yang Mendoktrin Pasal 1

Sahabat,
Walau sedikit telat berhubungan dengan hari bebas tembakau sejagat, tapi saya ingin membagi satu rangkaian kisah nyata (true story, istilah teman saya) dalam kehidupan saya. Rangkaian ini melengkapi sekaligus awal kisah panjang yang membuat saya digelari "Tak Macho" oleh teman-teman saya waktu SMP dulu. Kenapa ? Karena saya menolak untuk menjadi perokok. :)

Mengapa saya menolak menjadi perokok ? Sejak kapan ? Jawabannya saya kisahkan saja ya? hehee

Jawaban, Sejak Kapan ?
Sejak saya duduk di kelas 2 atau kelas 3 SD.
Ketika itu, saya sudah mengenal bungkusan rokok bertuliskan Kaiser Virginia yang berwarna hijau, Kansas berwarna kuning, Jamboe Bol berwarna merah, Bentoel berwarna biru dan banyak lagi merek lain. Di antara itu, Rokok Kansas yang paling lengket di ingatan saya, selain karena Bapak saya rokoknya itu, saya sering diminta beliau membelinya di warung-warung terdekat, juga ingat karena yel-yel yang sering saya nyayikan waktu kecil ketika melihat Pak Polantas. Begini bunyinya, "Polisi lalu lintas, nasinya nasi ramas, rokoknya rokok kansas". Saya malah tidak ingat dari mana belajar yel-yel seperti itu. :)
Loh, kalau sudah akrab dan mengenal rokok sejak kecil, bagaimana ceritanya anti rokok ? Sabar dong,... itu baru bungkusan dan mereknya saja. Ini juga lagi mengawali kisahnya, anggap sebagai prolog :)

Begini kisahnya,....

Bapak saya adalah seorang pengusaha dengan plang nama Levi's Taylor, sudah tahu kan? Ya, seorang tukang jahit. Membuka kedai jahit di tengah pasar, kami menyebutnya balai (pasar pekanan). Pasar ini ramainya hari Senin.
Karena profesi Bapak adalah tukang jahit yang ditempat ramai, maka jadilah beliau terkenal di kampung kami. Kondisi itu membuat Bapak saya banyak teman.
Suatu ketika saya berjalan di depan sebuah warung nasi, orang menyebutnya kedai Pak Ita. Tiba-tiba ada suara panggilan dari dalam, ternyata itu suara Bapak memanggil saya. Sayapun masuk ke warung yang ramai itu. Bapak duduk satu meja ditemani beberapa orang sedang bincang-bincang bisnis sambil makan siang. Saya ditawari dan langsung dipesankan beliau sepiring nasi dengan satu potong ayam goreng :) (ini makanan mahal waktu itu dan istimewa bagi saya)
Saya baru memulai menyantap nasi sesuap demi sesuap, belum habis setengahnya. Tiba-tiba berhenti dan langsung terasa mual-mual. Apa masalahnya? Saya melihat sekeliling, Bapak dan teman-teman beliau sudah selesai makan, masing-masing reflek menyalakan rokoknya, bau mesiu korek api menyengat, terbayangkan apa yang terjadi? Iya, seketika suasana berubah seperti berada di atas awan, saya benar-benar terjebak ditengah persidangan "ahli hisap", asap rokok mengepul bergulung-gulung, abunya berterbangan, sesekali bunga api memercik terbang hinggap di meja dan baju-baju yang ada di sana, saya sadar tak heran lagi kenapa baju Bapak saya banyak yang bolong bekas terbakar bunga api.
Ditengah suasana seperti itu, tiba-tiba.... Cluup, masuklah satu puntung rokok dalam air kobokan (bhs kami, air basuh) untuk cuci tangan tepat di depan piring saya. Rupanya teman Bapak yang di sebalah saya sudah menghabiskan satu batang rokoknya, bertepatan dengan itu satu abu rokok yang agak besar hinggap di piring saya. Saya melirik ke piring bekas makan Bapak-bapak di sekeliling saya, ada tujuh, semua berisi bekas batang korek api dan abu rokok.
Spontan saya berhenti makan, rasa nikmat hilang berganti sangat mual. Saya menunduk melihat ke lantai, terlihat banyak puntung rokok berserakkan bekas diinjak, hal ini menambah rasa mual bercampur kesal. Saya benar-benar marah dalam hati, kenapa orang-orang ini tidak meghiraukan anak kecil seperti saya yang ada ditengah mereka semua.
Maka seketika tertanam dalam hati saya Doktrin Pasal Satu yang "ekstrim" dan ampuh menghindarkan saya menjadi perokok sampai saat ini. Pasal itu berbunyi :

Rokok itu sangat menjijikkan...!!!
 
Melihat keadaan saya, Bapak waktu itu bertanya kenapa saya tidak menghabiskan makanan, apa yang membuat saya terlihat hampir muntah. Saya tidak bisa menjawab dan memilih untuk izin keluar warung lebih cepat. Saya berharap kisah ini bisa menjawab pertanyaan Bapak waktu itu.
Keluar dari warung, saya langsung ke pinggir sungai yang berada tidak jauh di belakang warung dan.... Saya muntah sejadi-jadinya.

Sahabat,...
Saya mohon maaf, pasal satu yang saya sebutkan di atas mungkin hanya berlaku pada diri saya dan murni akibat trauma yang saya alami secara pribadi, bila sahabat tidak setuju atau beda pandangan dengan saya, silahkan saja...

Kondisi dan pengalaman buruk itu benar-benar bermukim kuat diingatan saya. Pasal Satu itu bahkan (mohon maaf) membuat saya menjadi kurang respek kepada orang yang merokok di depan saya ketika saya sedang makan, siapapun orangnya.
Jadi, kalau Sahabat saya traktir makan bareng misalnya, mohon untuk tidak merokok di depan saya ya, hehehe.... (ciyuus).. Dan jangan heran, kalau saya ditraktir makan bareng sahabat, saya akan tidak betah, izinkan saya kabur untuk mencari udara segar :) supaya saya tetap sehat, bukan tak berterimakasih loh.

Alhamdulillah, ketika saya SMP sudah menyadari dan mempelajari bahaya merokok, saya merasa sangat bersyukur telah mendeklarasikan sejak dini Pasal Satu itu. Tidak itu saja, Pasal satu ini berperan melahirkan pasal-pasal berikutnya.

Saat SMP, banyak godaan untuk menjadi perokok, semua tidak berhasil menghapus pasal satu itu.
Mulai kelas 5 SD sampai 3 SMP, aktifitas saya sebagai Qori, membuat saya menjaga "nafas" dan suara dan Alhamdulillah memperkuat keberadaan pasal satu, sayapun bisa juara beberapa kali MTQ Tingkat Kecamatan dan Kabupaten.. Dari sini lahir pasal berikutnya, kalau mau nafas panjang ketika mengaji, jangan merokok, banyak olah raga.

Tinggal dan bekerja di Klinik Kesehatan, aktifitas sebagai Anggota PMR saat SMA makin menambah pengetahuan saya tentang bahaya rokok dan akibat yang dialami oleh perokok. :) Pada tahap ini lahir pasal berikutnya, Merokok berbahaya bagi tubuh dan mengganggu kesehatan.

Sahabat,
Penggalan kisah ini saya tuliskan sekaligus sebagai jawaban untuk pertanyaan banyak teman-teman saya, saat saya menolak tawaran rokok. Kenapa tidak merokok?

 

0 comments: