Assalamu'alaikum wr. wb
"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuau cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah." (QS. Al-Mulk : 3-4)
Kembali ke alam. Itulah salah satu pesan yang tersirat dalam ayat di atas. Karena pada dasarnya alam semesta ini diciptakan dengan keseimbangan, maka kembali ke alam berarti kembali untuk menyeimbangkan segala unsur-unsur alam semesta ini. Diantara unsur-unsur alam itu adalah air, tanah, angin, api, gunung, hutan sunggai dll. Jika kita menelaah berbagai bencana alam yang terjadi, niscaya tidak terlepas dari unsur alam tersebut. Banjir dan longsor terjadi karena ketidakseimbangan air, gempa terjadi karena ketidakseimbangan tanah, topn dan badai terjadi karena ketidakseimbangan angin, kebakaran hutan, gunung meletus terjadi karena ketidakseimbangan api. Demikian juga perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global (global warming) terjadi karena ketidakseimbangan unsur-unsur alam tersebut. Dari kalkulasi thermodinamika bisa kita ketahui bahwa semakin banyak (COx) yang dikeluarkan dan suhu semakin meningkat. Apalagi ditambah dengan emisi-emisi karbon lain yang lebih besar seperti industri, transportasi dll. Jika ingin tetap menjaga keseimbangannya, maka seharusnya unsur alam yang bisa mengolah CO2 menjadi O2 kembali diperbanyak yaitu pepohonan. Yang terjadi justru sebaliknya, hutan-hutan yang menjadi sumber oksigen habis dibabat dan digundulkan, daerah-daerah resapan air diurug, gunung-gunung diratakan dan seterusnya, sehingga alam tidak bisa melakukan proses pengolahan kembali dengan maksimal. Semua ketidakseimbangan itu bukan sifat asli alam, tetapi karena perbuatan manusia yang melakukan pengerusakan terhadap alam tersebut.
Allah Ta'ala berfirman : " Telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali(ke jalan yang benar)." (Qs. Ar-rum :41)
Sebagai bagian dari alam, sebenarnya banyak manusia yang mengetahui akibat dari semua perilaku merusak tersebut. Namun, pengetahuan itu tidak diiringi oleh kesadaran untuk menghentikannya. Memang banyak faktor yang menyebabkan terabaikan kesadaran itu. Contoh yang masih sangat mencolok adalah pengetahuan tentang bahaya rokok sudah sedemikian jelas dan nyata, tetapi kesadaran untuk berhenti merokok tidak tumbuh karena ilusi kenikmatan semu. Tidak adanya kesadaran ini telah memboroskan dana hingga mencapai 23 trilyun per tahun, hanya untuk barang seperti rokok. hal ini juga didukung oleh sikap pemerintah yang masih "mata duitan" karena besarnya cukai rokok dan daya serap tenaga kerja pabrik rokok. Demikian juga kasus-kasus perusakan alam yang begitu jelas dan nyata. Pihak yang terkait sudah mengetahui parahna kerusakan itu, bahkan sudah tahu siapa pelakunya, baik yang legal ataupun yang illegal. Lagi-lagi, pemerintah dan pejabat yang "mata duitan" itu abai terhadap semua akibat buruknya, bahkan tidak sebanding dengan kecilnya dana yang masuk ke kas negara. Tidak ada satu pejabat pun yang tidak tahu kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan yang dilakukan oleh Freeport di Irian, tetapi semua terbungkam oleh beberapa trilyun yang masuk ke kas negara dan sebagian masuk ke saku pejabatnya. Demikian juga Caltex, Newmont, Exon Mobil dan tambang-tambang lainnya. Dan semua begitu besar konstribusinya pada kerusakan alam, perubahan iklim dan pemanasan global. Tentu saja, dana sekecil itu sangan tidak akan cukup untuk menanggulangi dampak kerusakan alam dan sosial yang ditimbulkannya.
Hawa Nafsu : Penyebab Utama Timbulnya Kerusakan
Mangapa pengetahuan itu tidak diiringi oleh Kesadaran ?
Tidak lain karena kesadaran itu tertutupi dan terkalahkan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang menyuburkan keserakahan dan sifat tidak pernah puas. Bahkan lebih jauh lagi, keserakahan itu telah menutupi nuraninya, sehingga mampu meutarbalikkan fakta dan menutupi kebenaran. Data dan fakta telah banyak berbicara. Kasus-kasus pembalakan liar seringkali menguap begitu saja. Pengalihan fungsi lahan baik yang legal atau liar terjadi di setiap daerah. Akibatnya sudah kita lihat dan rasakan. Hampir seluruh pulau di negeri ini tertimpa banjir dan tanah longsor. Di wilayah Jawa Timur, satu daerah nyaris hilang menjadi lautan lumpur tandapa ada penyelesaian yang tuntas, sementara bosnya dinobatkan menjadi orang terkaya di negeri ini dengan kekayaan 50 trilyun. Bahkan disinyalir bahwa uang ganti rugi bagi korban diambil dari dana APBN milik rakyat yang dikamuflase. Betapa gamblangnya hawa nafsu telah disulap menjadi "kebenaran" bagi mereka. Allah pun telah menggambarkan dalam firman-Nya : " Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (Al Qur'an), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu." (QS. Al-mukminun : 71)
Keserakahan itu diamini oleh sistem perekonomian dunia yang kapitalistik. Tanpa menimbang kerusakan alam yang akan terjadi, eksploitasi sumber daya alam terus dikembangkan oleh negara-negara industri ke berbagai negara. Dalam berbagai konferensi yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang menjadi kendala terbesar adalah dari negara-negara industri tersebut, mulai dari Kyoto samapi ke Bali. Seringkali meraka hanya ingin mengeruk keuntungan besar saja, sementara resiko kerusakan lingkungan dibebankan kepada negara-negara berkembang dimana merekan menjalankan eksplitasinya. Sampai saat ini, kita tidak tahu berapa tembaga, emas dan mineral lainnya yang telah dikeruk Freeport dari Irian. Yang kita tahu adalah limbah dari produksi mereka telah menggunung sepanjang sungai yang luasnya mungkin cukup untuk beberapa Kecamatan.
Semua itu tentu saja tidak bisa dibiarkan tetap berlangsung. Meskipun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, usulan judicial review terhadap kontrak karya dengan Freeport perlu didukung dan dilanjutkan. Demikian juga terhadap kontrak-kontrak sejenis lainnya. Allah dengan tegas memerintahkan kepada kita untuk mencegah terjadi kerusakan di muka bumi secara meluas akibat ulah mereka yang rakus.
"Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. " (QS. Huud : 116)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyitir sebuah sabda Rasulullah SAW yang maknanya bahwa jika manusia melihat sebuah kerusakan kemudian membiarkannya, maka Allah akan menurunkan hukumannya kepada mereka.
Antara Memakmurkan dan Mengeksploitasi
Memang, Allah SWT menjadikan bumi dan segala isinya untuk manusia. Tetapi terhadap pemberian Allah tersebut bukan berarti manusia boleh melakukan apa saja, sehingga timbul kerusakan di muka bumi ini. Sebenarnya, para malaikat sudah punya firasat semenjak diciptakannya Adam AS dan menanyakan firasat tersebut kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah : 30.
Allah memberikan bumi seisinya kepada manusia untuk dimakmurkan bukan untuk dieksploitasi habis-habisan sampai rusak hancur luluh lantak. Inilah yang harus kita pahami dan kita sadari bersama apa yang dimaksud dengan pemakmur bumi itu. Allah menerangkan dalam ayat-Nya :
".. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah dan menjadikan kamu pemakmurna, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS. Huud : 61)
Mereka yang memakmurkan bumi Allah adalah mereka yang selalu memohon ampun dan bertobat kepada-Nya. Sedangkan mereka yang mengeksploitasi bumi hanya mengambil kekayaannya saja, tidak merasa berdosa dan tidam memohon ampun akan perbuatannya itu. Itulah sebabnya julukan negeri yang makmur adalah " Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur" negeri yang makmur dan mendapat ampunan dari Allah SWT. Memakmurkan bumi Allah berarti memuliakan penghuninya, sedangkan mengeksploitasi bumi Allah sama dengan menjajahnya dan menginakan penghuninya. Indikasi dari semua itu bisa dilihat dari tanda-tanda yang ada pada alam itu sendiri. Allah menerangkan dengan jelas bagaimana bumi yang makmur dan bumi yang rusak, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an :
" Dan negeri yang baik (makmur), tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan negeri yang buru (tidak makmur), tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (QS. Al- A'raaf : 58)
Tidak ada kata lain kecuali kita harus menjadi golongan orang yang mencegah berbagai kerusakan bumi yang dilakukan oleh orang-orang serakah dan aniaya. Mari kita menjadi pelopor untuk kembali ke alam (back to nature) agar alam pun kembali bersama kita. Kalaupun besok akan Qiayamat, kita teap akan terus menanam, sebagaimana dititahkan Rasulullah SAW. Dari sana, kita masih punya harapan agar bumi ini bisa kita wariskan kepada anak cucu kita.
Wallahua'lam
Oleh : Abu Fatiya
Dikutip dari Buletin Dakwah AL-MIMBAR Edisi No. 1 Th. V 4 Januari 2008
"Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuau cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah." (QS. Al-Mulk : 3-4)
Kembali ke alam. Itulah salah satu pesan yang tersirat dalam ayat di atas. Karena pada dasarnya alam semesta ini diciptakan dengan keseimbangan, maka kembali ke alam berarti kembali untuk menyeimbangkan segala unsur-unsur alam semesta ini. Diantara unsur-unsur alam itu adalah air, tanah, angin, api, gunung, hutan sunggai dll. Jika kita menelaah berbagai bencana alam yang terjadi, niscaya tidak terlepas dari unsur alam tersebut. Banjir dan longsor terjadi karena ketidakseimbangan air, gempa terjadi karena ketidakseimbangan tanah, topn dan badai terjadi karena ketidakseimbangan angin, kebakaran hutan, gunung meletus terjadi karena ketidakseimbangan api. Demikian juga perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global (global warming) terjadi karena ketidakseimbangan unsur-unsur alam tersebut. Dari kalkulasi thermodinamika bisa kita ketahui bahwa semakin banyak (COx) yang dikeluarkan dan suhu semakin meningkat. Apalagi ditambah dengan emisi-emisi karbon lain yang lebih besar seperti industri, transportasi dll. Jika ingin tetap menjaga keseimbangannya, maka seharusnya unsur alam yang bisa mengolah CO2 menjadi O2 kembali diperbanyak yaitu pepohonan. Yang terjadi justru sebaliknya, hutan-hutan yang menjadi sumber oksigen habis dibabat dan digundulkan, daerah-daerah resapan air diurug, gunung-gunung diratakan dan seterusnya, sehingga alam tidak bisa melakukan proses pengolahan kembali dengan maksimal. Semua ketidakseimbangan itu bukan sifat asli alam, tetapi karena perbuatan manusia yang melakukan pengerusakan terhadap alam tersebut.
Allah Ta'ala berfirman : " Telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali(ke jalan yang benar)." (Qs. Ar-rum :41)
Sebagai bagian dari alam, sebenarnya banyak manusia yang mengetahui akibat dari semua perilaku merusak tersebut. Namun, pengetahuan itu tidak diiringi oleh kesadaran untuk menghentikannya. Memang banyak faktor yang menyebabkan terabaikan kesadaran itu. Contoh yang masih sangat mencolok adalah pengetahuan tentang bahaya rokok sudah sedemikian jelas dan nyata, tetapi kesadaran untuk berhenti merokok tidak tumbuh karena ilusi kenikmatan semu. Tidak adanya kesadaran ini telah memboroskan dana hingga mencapai 23 trilyun per tahun, hanya untuk barang seperti rokok. hal ini juga didukung oleh sikap pemerintah yang masih "mata duitan" karena besarnya cukai rokok dan daya serap tenaga kerja pabrik rokok. Demikian juga kasus-kasus perusakan alam yang begitu jelas dan nyata. Pihak yang terkait sudah mengetahui parahna kerusakan itu, bahkan sudah tahu siapa pelakunya, baik yang legal ataupun yang illegal. Lagi-lagi, pemerintah dan pejabat yang "mata duitan" itu abai terhadap semua akibat buruknya, bahkan tidak sebanding dengan kecilnya dana yang masuk ke kas negara. Tidak ada satu pejabat pun yang tidak tahu kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan yang dilakukan oleh Freeport di Irian, tetapi semua terbungkam oleh beberapa trilyun yang masuk ke kas negara dan sebagian masuk ke saku pejabatnya. Demikian juga Caltex, Newmont, Exon Mobil dan tambang-tambang lainnya. Dan semua begitu besar konstribusinya pada kerusakan alam, perubahan iklim dan pemanasan global. Tentu saja, dana sekecil itu sangan tidak akan cukup untuk menanggulangi dampak kerusakan alam dan sosial yang ditimbulkannya.
Hawa Nafsu : Penyebab Utama Timbulnya Kerusakan
Mangapa pengetahuan itu tidak diiringi oleh Kesadaran ?
Tidak lain karena kesadaran itu tertutupi dan terkalahkan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang menyuburkan keserakahan dan sifat tidak pernah puas. Bahkan lebih jauh lagi, keserakahan itu telah menutupi nuraninya, sehingga mampu meutarbalikkan fakta dan menutupi kebenaran. Data dan fakta telah banyak berbicara. Kasus-kasus pembalakan liar seringkali menguap begitu saja. Pengalihan fungsi lahan baik yang legal atau liar terjadi di setiap daerah. Akibatnya sudah kita lihat dan rasakan. Hampir seluruh pulau di negeri ini tertimpa banjir dan tanah longsor. Di wilayah Jawa Timur, satu daerah nyaris hilang menjadi lautan lumpur tandapa ada penyelesaian yang tuntas, sementara bosnya dinobatkan menjadi orang terkaya di negeri ini dengan kekayaan 50 trilyun. Bahkan disinyalir bahwa uang ganti rugi bagi korban diambil dari dana APBN milik rakyat yang dikamuflase. Betapa gamblangnya hawa nafsu telah disulap menjadi "kebenaran" bagi mereka. Allah pun telah menggambarkan dalam firman-Nya : " Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (Al Qur'an), tetapi mereka berpaling dari peringatan itu." (QS. Al-mukminun : 71)
Keserakahan itu diamini oleh sistem perekonomian dunia yang kapitalistik. Tanpa menimbang kerusakan alam yang akan terjadi, eksploitasi sumber daya alam terus dikembangkan oleh negara-negara industri ke berbagai negara. Dalam berbagai konferensi yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang menjadi kendala terbesar adalah dari negara-negara industri tersebut, mulai dari Kyoto samapi ke Bali. Seringkali meraka hanya ingin mengeruk keuntungan besar saja, sementara resiko kerusakan lingkungan dibebankan kepada negara-negara berkembang dimana merekan menjalankan eksplitasinya. Sampai saat ini, kita tidak tahu berapa tembaga, emas dan mineral lainnya yang telah dikeruk Freeport dari Irian. Yang kita tahu adalah limbah dari produksi mereka telah menggunung sepanjang sungai yang luasnya mungkin cukup untuk beberapa Kecamatan.
Semua itu tentu saja tidak bisa dibiarkan tetap berlangsung. Meskipun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, usulan judicial review terhadap kontrak karya dengan Freeport perlu didukung dan dilanjutkan. Demikian juga terhadap kontrak-kontrak sejenis lainnya. Allah dengan tegas memerintahkan kepada kita untuk mencegah terjadi kerusakan di muka bumi secara meluas akibat ulah mereka yang rakus.
"Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. " (QS. Huud : 116)
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyitir sebuah sabda Rasulullah SAW yang maknanya bahwa jika manusia melihat sebuah kerusakan kemudian membiarkannya, maka Allah akan menurunkan hukumannya kepada mereka.
Antara Memakmurkan dan Mengeksploitasi
Memang, Allah SWT menjadikan bumi dan segala isinya untuk manusia. Tetapi terhadap pemberian Allah tersebut bukan berarti manusia boleh melakukan apa saja, sehingga timbul kerusakan di muka bumi ini. Sebenarnya, para malaikat sudah punya firasat semenjak diciptakannya Adam AS dan menanyakan firasat tersebut kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah : 30.
Allah memberikan bumi seisinya kepada manusia untuk dimakmurkan bukan untuk dieksploitasi habis-habisan sampai rusak hancur luluh lantak. Inilah yang harus kita pahami dan kita sadari bersama apa yang dimaksud dengan pemakmur bumi itu. Allah menerangkan dalam ayat-Nya :
".. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah dan menjadikan kamu pemakmurna, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS. Huud : 61)
Mereka yang memakmurkan bumi Allah adalah mereka yang selalu memohon ampun dan bertobat kepada-Nya. Sedangkan mereka yang mengeksploitasi bumi hanya mengambil kekayaannya saja, tidak merasa berdosa dan tidam memohon ampun akan perbuatannya itu. Itulah sebabnya julukan negeri yang makmur adalah " Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur" negeri yang makmur dan mendapat ampunan dari Allah SWT. Memakmurkan bumi Allah berarti memuliakan penghuninya, sedangkan mengeksploitasi bumi Allah sama dengan menjajahnya dan menginakan penghuninya. Indikasi dari semua itu bisa dilihat dari tanda-tanda yang ada pada alam itu sendiri. Allah menerangkan dengan jelas bagaimana bumi yang makmur dan bumi yang rusak, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an :
" Dan negeri yang baik (makmur), tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan negeri yang buru (tidak makmur), tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (QS. Al- A'raaf : 58)
Tidak ada kata lain kecuali kita harus menjadi golongan orang yang mencegah berbagai kerusakan bumi yang dilakukan oleh orang-orang serakah dan aniaya. Mari kita menjadi pelopor untuk kembali ke alam (back to nature) agar alam pun kembali bersama kita. Kalaupun besok akan Qiayamat, kita teap akan terus menanam, sebagaimana dititahkan Rasulullah SAW. Dari sana, kita masih punya harapan agar bumi ini bisa kita wariskan kepada anak cucu kita.
Wallahua'lam
Oleh : Abu Fatiya
Dikutip dari Buletin Dakwah AL-MIMBAR Edisi No. 1 Th. V 4 Januari 2008